Desakan Uji Validitas Ijazah: Menanti Profesionalitas, Integritas dan Moralitas Hakim

Oleh: Nur Amalia Abbas

Sebagian publik di Tanah Air ini terus mendesak validitas ijazah seseorang. Dinilai demikian penting sebuah dokumen resmi (ijazah) yang dikeluarkan lembaga pendidikan formalitas. Sebab, menyangkut bukti kejujuran dan kebenaran seseorang pernah belajar secara formal dan menyelesaikan sekolah atau kuliahnya. Bukti itu sungguh krusial karena menyangkut sang pemilik ijazah itu pernah terlibat dalam penyelenggaraan negara. Posisi ini mengandung konsekuensi sangat besar saat ini dan mendatang, tidak hanya bagi negara, tapi juga rakyat yang dipimpinnya. Itulah sebab, sebagian publik terus mendesak untuk menguji validitas ijazah dia.

Memang, perkara ijazah tersebut telah memasuki proses hukum di lembaga peradilan (Solo dan Jakarta Pusat). Namun, terfokus pada materi dakwaan hoax dan tidaknya yang dilakukan para pihak yang dinilai melakukan pencemaran nama baik. Materi dakwaan dinilai bergeser dari substansi yang diinginkan publik.

Kini, publik terus mendesak untuk uji validitas ijazah itu. Berbagai elemen masyarakat terus mengujinya dengan menelusuri berbagai hal yang menempel langsung dari ijazah yang diduga kuat bermasalah validitasnya, bahkan sejumlah data lain yang bermata rantai pada bukti dikeluarkannya sebuah ijazah, semisal bukti penerimaan mahasiswa Sipenmaru Perintis I pada 1980, data akademik perkuliahan, skripsi dan pembimbingnya, bahkan para pengujinya. Sampai juga pada lembaran pengesahan sebuah skripsi, bukan tesis dan font yang dipakai kala itu, yang tentu bukan Times New Roman belum lahir pada era 1980-an hingga 1990.

Kiranya, sejumlah data itu sungguh penting untuk dikonfirmasi (diuji) yang berstandar hukum dan dapat dipertanggung jawabkan. Karena itu, medan pengujiannya bukan sebatas klarifikasi pihak yang punya otoritas di lembaga pendidikan itu. Juga, bukan hanya klaim sejumlah temannya yang mengaku pernah kuliah bersama. Tapi, haruslah di hadapan peradilan.

Di sanalah hakim diuji profesionalitas, integritas bahkan moralitasnya. Ia harus mandiri atau terbebas dari pengaruh pihak eksternal manapun. Tak boleh terkontaminasi kepentingan politik atau apapun dalam menguji validitas sebuah ijazah yang menghebohkan itu.

Kiranya tidaklah berlebihan, jika muncul penilaian para hakim yang akan menangani kasus ijazah itu tidaklah ringan. Di hadapannya terdapat dua tuntutan pihak yang menanti kepastian hukum yang bersendikan kebenaran dan kejujuran. Ada sisi kemutlakan yang tak bisa ditafsirkan lain. Meski, akan muncul ketidakpuasan di salah satu pihak, namun standar kebenaran dan kejujuran akan menjadi alat ukur yang terukur. Inilah standar yang akan menggerakkan posisi para hakim menjadi ringan bebannya.

Di sanalah, sekali lagi, kemandirian hakim yang profesional, berintegritas dan bermoral tinggi menjadi sangat mutlak. Tak bisa ditawar-tawar. Prasyarat mutlak itu – secara teoritik dan empirik – akan menjadikan para pihak bisa menerima hasil putusan yang bersendikan kebenaran dan kejujuran.

Akhirnya, atas nama panggilan “harus menjaga marwah lembaga peradilan”, para hakim yang siap menguji validitas ijazah itu harus bertindak tegas dan jelas pada rel hukum yang menjunjung tinggi prinsip kebenaran, kejujuran dan keadilan. Inilah sikap dan tindakan hakim yang sejatinya sejalan dengan panggilan menjaga marwah lembaga pradilan. Disadari atau tidak, sikap tegas dan jelas itu ikut menyelamatkan wajah peradilan. Karya hukum ini tentu menjadi kebanggaan kita selaku praktisi lembaga peradilan.

Penulis: Praktisi Hukum

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *