Warisan Ekonom Neoliberalis

Oleh: Yudhie Haryono | CEO Nusantara Centre

Apa yang diwariskan ekonom neoliberalis? Utang. Apa yang mereka ajarkan? Utang. Apa tradisi yang dibanggakan? Menumpuk utang. Apa kehebatan yang mereka kampanyekan? Juara utang. Apa agama yang dikembangkan? Utang dan menipu.

Itulah 5 hal yang kita rasakan setelah menyaksikan sinetron kreta cepat Whoosh yang menjijikkan. Projek anti nalar yang meninggalkan utang jumbo tidak tak terselesaikan sampai hari ini.

Coba kita tanya, “siapa yang mampu mengakses kreta Whoosh? Orang kaya. Tetapi, siapa yang bayar kerugian projek kreta Whoosh? Semua warga negara.” Inilah projek anti pancasila, anti konstitusi.

Dari kasus itu, kita berkesimpulan bahwa sistem ekopol kita kini adalah: tuli, buta dan bisu dari kewarasan nasional; dari kejelian dan kecerdasan agensi; dari kebaikan konstitusi; dari sentimen kaum miskin. LBP (2025) menyebutnya, “busuk dari awal.” Itulah rancang bangun ekopolitik neokolonial dari ekonom neoliberalis di republik merdeka.

Indonesia, negeri dengan SDA dan SDM melimpah, oleh para neoliberalis kini dijadikan bengkel di mana semua mafia dan semua pahlawan disimpan dalam kardus besi yang sama. Masalahnya, kunci gemboknya hilang, delapanpuluh tahun yang lalu.

Kemudian kita menggunjingnya seakan-akan mukjizat datang setelah tahlil tak sudah-sudah. Praktis kita tak punya antitesanya. Bahkan tak ingin mengakhirinya. Akankah ekonom kita bodoh semua?

Tentu, kita jadi bertanya-tanya, “mengapa ekonom neoliberalis tega menghancurkan Indonesia?” Jawabannya ternyata sederhana, “mereka memilih jadi bangsa(t)wan daripada bangsa(wan).”

Pilihan itu terpaksa hadir tanpa dipikirkan secara mendalam untuk jadi petanda, penanda dan tradisi sebuah bangsa. Pilihan itu hanya dendam dari kelam dan nasib miskin di masa lalu. Padahal dendam itu menumpulkan kejeniusan dan kesejatian.

Komunitas neoliberalis itu berfikir dan bertindak “besok makan apa” dan “besok makan siapa.” Itulah ontologi sekaligus epitema kehidupannya. Tak lebih, tak kurang. Predatorian menjadi hobi dan sumber kebahagiaan.

Pada aksiologi mereka, kolonialisme diundang dan disetubuhi serta dizinahi. Sesuatu yang dihapuskan oleh para pendiri republik, kini dikawani dan dikawini. Tentu ini “pengkhianatan dan perselingkuhan.”

Singkatnya, para ekonom neoliberalis itu sangat individualis sehingga tidak peduli pada kinerja perlindungan sosial. Juga anti subsidi, anti gotong-royong tetapi suka sekali gotong nyolong.

Akhirnya, terjadilah peningkatkan ketidakpastian bagi pekerja dan warga miskin; ketimpangan plus kesenjangan akut. Krisis itu produksi mereka. Kekalutan warga negara itu cita-cita mereka.

Mengapa begitu? Tentu karena mereka mengabaikan kepentingan umum dan kedaulatan nasional sambil mengutamakan kepentingan korporasi, elit, investor dan oligarki agar mereka sendiri yang beruntung.

Maka, warga negara yang buntung (rugi), adalah kebahagiannya. Negara yang tak berdaya adalah tabungannya. Republik yang paria adalah depositonya. Terjajah kembali itulah kredonya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *