Oleh: Agus Wahid
Abdul Muththalib hanya bisa pasrah. Itulah sikap kakek Rasulullah ketika mendengar rencana Raja Abrahah yang siap meruntuhkan Ka’bah. Namun, kakek Rasulullah selaku “penghamba” Ka’bah menengadahkan kedua tangan. Memohon kepada Yang Maha Kuasa, Tuhan yang disembah Nabi Ibrahim seraya penuh harap: agar Rumah Allah yang pertama kali dibangun di muka bumi ini (Ka’bah) selamat dari agenda politik ambisius Raja Yaman itu.
Sejarah mencatat, tahun 571 M itu, Allah kirimkan ribuan burung ababil dengan menjatuhkan batu-batu kerikil. Gajah dan pasukannya berjatuhan. Raja Abrahah pun tewas tertembus batu-batu kecil dari neraka yang dimuntahkan dari mulut burung-burung ababil itu.
Peristiwa itu layak kita refleksikan dengan sikap politik Donald Trump baru-baru ini. Sebelum terjadi kebakaran dahsyat yang melanda Los Angeles, Trump sesumbar, bahkan bersumpah: akan menciptakan Gaza bagai neraka. Akan dibumihanguskan. Tentu, dengan persenjataan super canggihnya.
Namun, kita saksikan, terdapat puluhan bahkan kemungkinan ratusan anak Palestina yang tak berdosa itu bersumpah: justru sebagian wilayahmu, wahai Trump yang akan hangus. Amerika yang jadi neraka. Fakta bicara, 7 Januari kemarin, Los Angeles terbakar hebat. Menurut catatan Call Fire, sekitar 6.974,35 ha atau sekitar 1,5 wilayah Jakarta Pusat terlalap si jago merah dengan demikian cepat. AI malah mencatat lebih luas lagi: wilayah Los Angeles yang terbakar mencapai sekitar 15.632 ha. Beberapa titik Los Angeles seperti Kota Palisade, Eaton yang terlalap itu sepadan luasnya dengan wilayah Gaza. “Gatuk” dengan imajinasi Trump, meski kebalik.
Pemirsa dan simpatisan anak bangsa Palestina berprasangka, itulah doa anak-anak Palestina. Mereka bagai Abdul Muththalib yang berdoa, agar sumpah Trump tidak terjadi. Dan sebaliknya, peristiwa dahsyat yang mengerikan justru menerpa wilayah yang dipimpin sang digdaya AS. Siapa mengira, di tengah negeri yang super hebat pertahanannya, sang “maha kuat” itu tak berdaya ketika Allah kabulkan doa kaum dlu`afa.
Tragedi yang melanda negara bagian California, layak kita renungkan lebih jauh. Dalam perspektif keagamaan, kita dapat mencatat, janganlah memandang remeh terhadap kaum yang tertindas. Doa yang penuh rintihannya, apalagi dari kaum anak-anak yatim yang suci itu tanpa hijab (dinding pembatas). Makbul doanya.
Tragedi Los Angeles juga menjadi pengingat, sedigdaya apapun sang pemimpin global, apalagi hanya level domestik dan distrik tak layak sombong. Semuanya hanya sekecil atom bahkan nano jika diperhadapkan dengan kedigdayaan Yang Maha Perkasa (Allah).
Trump, bahkan Joe Biden dan seluruh warga negara AS, wabil-khusus Los Angeles dan California hanya melongo saat menyaksikan gerak cepat migrasi “banaspati”. Sangat tidak rasional. Tidak hanya demikian cepatnya, tapi juga munculnya angin torpedo yang menyatu dengan api dahsyatnya. Kabar terakhir, hembusan api dahsyat itu sudah mulai mengarah ke Washington DC. Maasyaa Allah… Jika Allah menghendaki, siapa yang bisa menahannya. Tiada seorang pun mampu mencegahnya.
Panorama kekuatan doa kaum yang tertindas dan ketidakberdayaan kaum superior sejatinya mengandung hikmah yang sangat mendasar. Dalam perspektif keagamaan, Allah menggiring seluruh umat manusia untuk saling menolong, bukan sebaliknya. Ta`aawanuu `alal birri wattaqwa, wa laa ta`aawanu bil-itsmi wal`udwaan (Q.S. al-Maidah: 2).
Ayat tersebut berlaku tidak hanya dalam terminologi sosial-ekonomi, tapi juga politik, baik internasional ataupun domestik, bahkan sampai ke level paling bawah. Jika direfleksikan dalam lingkup politik internasional, maka ayat tersebut bisa menjadi landasan teologi politik global tentang larangan penjajahan di muka bumi, baik secara fisik-militeristik, ataupun ekonomi. Inilah spirit kemanusiaan yang harus dibangun.
Menggandeng pemikiran kemanusiaan, peristiwa Los Angeles pun menyisakan kisah yang sangat menyentuh. Seperti yang terinformasikan, Masjid Bait as-Salam sama sekali tak tersentuh api yang demikian berkobar.
Dalam perspektif kemanusiaan itu pula, Bait a-Salam menjadi tempat berlindung para korban. Di arena wilayah yang tinggi temperaturnya, justru di dalam masjid demikian sejuk, padahal aliran listrik terputus. Tak ber-AC. Maasyaa Allaah. Mereka yang memasukinya sangat terbantu dari sengatan temperatur lingkungan sekitar. Lebih dari itu, sambutan para pengurus masjid demikian hangat. Penuh kemanusiaan. Mereka tak memandang perbedaan keyakinan. Sebuah gambaran cara penerimaan yang penuh persahabatan dan perikemanusiaan. Hal ini pun menimbulkan kesejukan hati di antara para korban kebakaran.
Sisi lain, jika kita cermati panorama secara alamiah, keselamatan masjid itu tidak makes sense. Mengapa masjid selamat dari kobaran api yang mengungkunginya. Aneh tapi nyata. Namun, dalam perspektif agamis, tak ada yang aneh. Keselamatan masjid tak lepas dari kehendak Allah. Masjid sebagai rumah Allah, maka Allah pula yang menjaganya. Persis Ka`bah yang juga dijaga oleh-Nya.
Realitas tercegahnya Masjid Nurul Salam dari amukan api, hal ini menjadi renungan. Dan memang, tak sedikit masyarakat California berduyun mendatanginya, sembari berfikir jernih tentang masjid dan Islam. Dari informasi yang terpublikasi luas, tak sedikit di antara warga California berduyun-duyun memeluk Islam. Tanpa paksaan.
Sekali lagi, dalam perspektif keagamaan, kebakaran hebat yang melanda Los Angeles, sebagian masyarakat menilai Allah demikian murka kepada AS yang selalu demikian supported terhadap kejahatan Israel-Zionis. Dan kebakaran itu menjadi imbalan yang layak diterima bagi para pendukung Zionis, terutama AS.
Namun, jika kita cermati dampak kebakaran itu dan munculnya simpati bahkan kekaguman terhadap hal-hal yang tidak rasional seperti selamatnya masjid dan perlakuan humanis pengurus masjid itu, di sanalah sesungguhnya Allah menunjukkan kasih-sayang-Nya kepada warga negara AS. Allah memberikan hidayah, meski harus menghadapi pengorbanan yang luar biasa mengerikan. Sebagian warga negara AS memeluk Islam sebagai jalan hidup baru akibat tragedi itu. Itulah cara Allah membelokkan hati warga negara AS ke arah yang benar.
Yang layak kita analisis, dari bencana itu muncul kesadaran keberagamaan yang bersifat personal dan komunal. Kesadaran ini pun berpotensi untuk mengubah haluan politik luar negeri AS yang berkeadilan dan berkemanusiaan. Apakah hal ini akan mengubah sikap apriorinya, dari pro-Israel ke tatanan dunia baru yang damai dan berkeadilan?
Skeptis memang. Karena, lingkaran kekuasaan AS tak lepas dari cengkraman lobby Yahudi. Namun demikian, publik AS yang simpati pada Islam dan kemanusiaan semakin meluas. Mereka menjadi kekuatan baru yang siap mengkritisi kebijakan Trump ke depan. Gelombang kritik akan terus membahana. Trump pun akan dilema. Tidak hanya menghadapi kekuatan politik ekstra parlemen tapi bayang-bayang bencana alam yang akan meruntuhkan kekuasaannya. Dan, hal ini sangat mungkin disadari akibat politik luar negerinya yang all out pro-Israel tanpa reserve. It`s the time to peace, for all over the world, including Israel versus Palestine.
Penulis: Analis Politik